Experiential Learning : Sebuah Metode Pembelajaran dalam Outbound Training

Belajar merupakan respon alamiah yang dimiliki oleh manusia untuk bertahan hidup (survival). Ada berbagai teori psikologi yang berusaha menjelaskan perilaku belajar manusia, salah satunya adalah Experiential Learning Theory (ELT), yang dicetuskan oleh David A. Kolb.

Dalam dunia pendidikan (education) dan pelatihan (training), hal utama yang melandasi keseluruhan aktivitasnya adalah pembelajaran (learning). Bahkan, ketika kita sedang berbicara tentang kehidupan, itu sama artinya dengan menceritakan pembelajaran yang sudah kita peroleh dalam hidup (life-learning). Jadi, baik pada ranah formal (pendidikan), informal (pelatihan), maupun non-formal (kehidupan), kita tidak akan luput dari satu hal yang disebut sebagai “belajar”.

(gambar diambil dari http://motivislearning.com/2016/01/04/experiential-learning-and-the-competency-revolution/ )

Belajar merupakan respon alamiah yang dimiliki oleh manusia untuk bertahan hidup (survival), beradaptasi terhadap kondisi lingkungan (adaptation), dan berkembang menjadi pribadi yang punya kualitas (development). Apakah anda ingat akan pengalaman anda ketika masa-masa awal anda meniti karir? Dimulai dari bekerja keras hanya agar anda bisa tetap bertahan dalam bidang karir anda, belajar banyak hal agar tidak tertinggal dari orang lain. Tidak hanya itu, anda juga belajar untuk menguasai keadaan, anda menjadi terbiasa dengan pola-pola kerja tertentu, anda jadi mengenal karakter orang-orang yang bekerja dengan anda, dan lain sebagainya. Kemudian, setelah sekian tahun anda meniti karir tersebut, tak terasa kini anda menjadi pribadi yang berbeda dibandingkan diri anda sebelumnya. Banyak hal sudah anda pelajari, dan anda kuasai, melalui pengalaman belajar selama meniti karir anda.

Ada berbagai macam teori psikologi yang berusaha menjelaskan tentang perilaku belajar manusia. Salah satunya disebut sebagai Experiential Learning Theory (ELT), yang dicetuskan oleh David A. Kolb pada tahun 1984. ELT meletakkan landasan konseptualnya pada tiga model pembelajaran yang dicetuskan oleh Kurt Lewin, John Dewey, dan Jean Piaget. Ketiga model pembelajaran tersebut menggambarkan bahwa proses belajar dimulai dengan pengalaman langsung yang konkrit dengan subjek belajarnya. Berdasarkan pengalaman tersebut, melalui hasil pengamatan dan evaluasi, kita mengembangkan kerangka berpikir tertentu mengenai subjek belajar. Kemudian, kerangka berpikir tersebut kita gunakan sebagai landasan untuk memperbaiki atau mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan subjek belajar supaya dapat diaplikasikan dengan lebih efektif dan efisien. Misalnya, kita sedang ingin belajar tentang kepemimpinan, maka kita perlu untuk mengalami secara langsung pengalaman menjadi seorang pemimpin dalam sebuah tim. Dari pengalaman memimpin anggota tim tersebut, kita mengamati dan mengevaluasi gaya dan kinerja kepemimpinan kita. Hasil pengamatan dan evaluasi tersebut memunculkan kesimpulan-kesimpulan (kerangka berpikir) mengenai kemampuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dirinya memimpin anggota timnya, seperti communication skills, team management, integritas, dan lain sebagainya. Kemudian, simpulan-simpulan tersebut kita terapkan kembali (ujicoba) dalam tim untuk dinilai efektivitas dan efisiensinya. Skema dari masing-masing model pembelajaran dapat dillihat pada gambar di bawah ini.

Model Belajar menurut Kurt Lewin
Model Belajar menurut Kurt Lewin
Model Belajar menurut John Dewey
Model Belajar menurut John Dewey
Model Belajar menurut Jean Piaget
Model Belajar menurut Jean Piaget

Melalui hasil kajian dari tiga model pembelajaran di atas, Kolb (1984) menyebutkan bahwa bentuk-bentuk pendidikan (education) dan/atau pelatihan (training) yang menggunakan Experiential Learning Theory sebagai metode belajarnya akan memenuhi 6 prinsip berikut ini:

#1 Learning is Best Conceived as a Process, Not in Terms of Outcomes

Belajar (learning) adalah sebuah proses, bukan hasil. Prinsip ini berusaha mengkritik teori-teori belajar yang mendewakan hasil belajar daripada proses belajar. Menurut Kolb (1984), ketika kita terjebak pada hasil belajar, dan cenderung menilai kinerja seseorang hanya berdasarkan angka-angka matematis atau statistik (kuantitatif), kita sedang mengabaikan kemungkinan bahwa orang tersebut mengalami perbaikan atau perkembangan diri melalui pembelajaran yang dia lakukan. Kita akan kehilangan esensi dari proses belajar, yaitu pembelajaran yang berkesinambungan dan berlangsung terus-menerus.

#2 Learning is a Continous Process Grounded in Experience

Image by wir_sind_klein on Pixabay

Kolb (1984) menyebutkan bahwa ketika kita sedang belajar dari pengalaman hidup, ada dua hal yang kita lakukan, yaitu mengumpulkan berbagai pengetahuan terkait subjek belajarnya (tahap grasping), dan mengembangkan berbagai pengetahuan baru yang lebih tepat-guna (tahap transforming). Dalam tahap grasping, kita mengumpulkan berbagai pengetahuan mengenai subjek belajar melalui dua cara, (1) merasakan sendiri pengalaman ketika melakukan sesuatu yang berkaitan dengan subjek belajar (concrete experience), dan (2) mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan subjek belajar, berupa teori/konsep, skema, alur, dan lain sebagainya (abstract conceptualization). Begitu pula dalam tahap transforming, kita mengembangkan berbagai pengetahuan baru yang lebih tepat-guna juga melalui dua cara, (1) mengambil pelajaran dari hasil pengamatan terhadap orang lain yang mengaplikasikan hal-hal yang berkaitan dengan subjek belajar (reflective observation), dan (2) melakukan sendiri hal-hal yang sudah kita pelajari sebelumnya terkait subjek belajar (active experimentation). Kedua tahap tersebut tidak terjadi dalam sekali waktu melainkan sebuah siklus yang berputar terus-menerus. Dalam siklus tersebut kita akan seringkali menemukan bahwa sebuah ide (pengetahuan) yang sudah kita simpulkan dalam satu siklus akan bertentangan atau bertolakbelakang dengan ide-ide dalam siklus berikutnya (terjadi konflik). Biasanya, menurut Piaget (dalam Elkind, 1970), ada dua mekanisme yang kita lakukan dalam menanggapi konflik tersebut, yaitu menggabungkan dua atau lebih pengetahuan yang bersesuaian (integration) atau menggantikan pengetahuan yang lama dengan pengetahuan baru yang lebih relevan (substitution). Keberadaan dua mekanisme tersebut menandakan bahwa tidak ada sebuah pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak—dalam dunia akademis, hal ini dikenal dengan pernyataan bahwa “ilmu pengetahuan bersifat tentatif” yang dapat berubah sesuai perkembangan hasil-hasil penelitian atas pengetahuan tersebut. Jika pengetahuan saja dapat berubah secara terus-menerus, maka proses belajar pun juga demikian. Oleh karena itu, Kolb (1984) menekankan pentingnya kemampuan penyesuaian diri (adaptation).

#3 The Process of Learning Requires The Resolution of Conflicts between Dialectically Opposed Modes of Adaptation to The World

Image by Pexels on Pixabay

Dalam proses belajar diperlukan kemampuan adaptasi terhadap perbedaan cara belajar pada setiap tahap belajar—antara concrete experience dan abstract conceptualization (pada tahap grasping), serta antara reflective observation dan active experimentation (pada tahap transforming). Kemampuan adaptasi tersebut dapat diperoleh melalui integrated learning, yaitu belajar menggunakan keempat cara belajar di atas—touches all the bases (experiencing, reflecting, thinking & acting)—agar kita menjadi terbiasa untuk mengenali cara-cara belajar mana yang sesuai dengan kebutuhan belajar dan situasi/kondisi belajar tertentu (Kolb, 1984). Berangkat dari integrated learning tersebut, muncul empat tipe gaya belajar (learning style) yang merupakan perpaduan dua dari empat cara belajar.

  • Diverging Style; Gaya belajar ini memadukan antara cara belajar concrete experience dan reflective observation.
  • Assimilating Style; Gaya belajar ini memadukan antara cara belajar abstract conceptualization dan reflective observation.
  • Converging Style; Gaya belajar ini memadukan antara cara belajar abstract conceptualization dan active experimentation.
  • Accomodating Style; Gaya belajar ini memadukan antara cara belajar concrete experience dan active experimentation.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, proses belajar seseorang juga dapat melibatkan perpaduan keempat cara belajar dan gaya belajar di atas, yang diistilahkan oleh Kolb (2000) sebagai northerner, easterner, southerner, dan westerner.

  • Northerner; Seseorang dengan tipe belajar ini cenderung mengintegrasikan cara belajar reflective observation dan active experimentation, memiliki spesialisasi dalam cara belajar concrete experience, serta mengkombinasikan gaya belajar diverging dan accomodating.
  • Easterner; Seseorang dengan tipe belajar ini cenderung fleksibel dalam menggunakan cara belajar concrete experience atau active experimentation, memiliki spesialisasi dalam cara belajar reflective observation, serta mengkombinasikan gaya belajar diverging dan assimilating.
  • Southerner; Seseorang dengan tipe belajar ini cenderung mengkombinasikan gaya belajar assimilating dan converging, fleksibel dalam menggunakan cara belajar reflective observation atau active experimentation, serta memiliki spesialisasi dalam cara belajar abstract conceptualization.
  • Westerner; Seseorang dengan tipe belajar ini cenderung mengintegrasikan cara belajar concrete experience dan abstract conceptualization, serta memiliki spesialisasi dalam cara belajar active experimentation.

Dan, tingkatan tertinggi dari proses belajar ini adalah keberimbangan dalam memadukan setiap cara, gaya, dan tipe belajar (balanced learning). Seseorang yang berada pada tingkatan ini memiliki fleksibilitas dalam setiap tahap belajar—mampu menyesuaikan diri untuk menjadi concrete-abstract pada tahap grasping, serta menjadi active-reflective pada tahap transforming. Menurut Kolb (2000), ini adalah keadaan belajar yang ideal, karena seseorang sudah memiliki kemampuan adaptasi yang relatif konsisten—peka dan tanggap terhadap perubahan, serta bisa melihat tujuan dari proses belajarnya.

#4 Learning is a Holistic Process of Adaptation to The World

Image by dimitrisvetsikas1969 on Pixabay

Hal utama yang pasti kita peroleh melalui proses belajar adalah berkembangnya pengetahuan dan kemampuan kita untuk dipergunakan dalam memandang, memaknai, dan menyelesaikan suatu permasalahan dalam hidup. Karena setiap masalah memiliki kompleksitas (kesederhanaan dan kerumitan) masing-masing, menjadi hal yang mustahil jika kita mempergunakan cara-cara yang sama dalam menanggapi dan menghadapinya. Oleh sebab itu, kita perlu mempelajari dan mengembangkan berbagai macam strategi melalui ratusan bahkan ribuan pengalaman dalam banyak keadaan. Inilah yang disebut sebagai proses adaptasi yang menyeluruh (holistic process of adaptation), artinya strategi-strategi yang kita miliki perlu diujicoba efektivitas dan efisiensinya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Dengan adanya banyak pengalaman yang sudah kita lalui, lama-kelamaan kita akan memiliki fleksibilitas dalam mempergunakan berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dan mengambil keputusan (decision making). Selain itu, kita juga akan menyadari bahwa penentuan dan penggunaan sebuah strategi bergantung pada kondisi orang-orang yang terlibat serta situasi-situasi yang terjadi di dalam permasalahan tersebut.

#5 Learning Involves Transactions between The Person and The Environment

Image by Free-Photos on Pixabay

Dalam Psikologi dikenal sebuah teori yang disebut Teori Medan. Teori tersebut menyebutkan bahwa seseorang berperilaku tertentu karena ditentukan oleh situasi/kondisi yang bersangkutan (the person) dan situasi/kondisi lingkungan (fisik dan sosial) yang terdapat di sekitar orang tersebut (the environment). Kolb (1984) mengadaptasinya dengan menyatakan bahwa hubungan antara person dan environment-nya bersifat transaksional—situasi/kondisi masing-masing saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam bentuk lain, hubungan transaksional ini juga berlangsung antara pengalaman belajar yang objektif (concrete experience & active experimentation) dan pengalaman belajar yang subjektif (abstract conceptualization & reflective observation). Oleh sebab itu, menjadi penting bagi kita sebagai pembelajar (learner) untuk memahami setiap situasi/kondisi—baik yang ada dalam hubungan person-environment maupun hubungan antara pengalaman subjektif dan objektif. Proses memahami situasi/kondisi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain: pengamatan (observasi), wawancara (interviu), coaching & counseling, serta pengukuran (psikotes, pre-test & post-test, dll)—ini disebut sebagai psychological assessment. Hasil dari proses tersebut niscaya turut mempengaruhi arah pembelajaran (learning) yang kita alami—akan mengarah pada peningkatan kinerja dan perkembangan (development), stagnan, atau malah mengalami penurunan (degradasi).

#6 Learning is The Process of Creating Knowledge

Image by jarmoluk on Pixabay

Meskipun Kolb (1984) menekankan bahwa belajar (learning) adalah proses, bukan hasilnya, tetapi setiap proses belajar pasti memiliki tujuan. Pembelajaran (learning) bertujuan untuk menciptakan pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan tersebut dapat mempengaruhi kapasitas dan kapabilitas kita untuk menjadi lebih berkompeten dalam menjalankan peran dan tanggungjawab di pekerjaan, di kelurga, serta di masyarakat.

Lalu, apa relevansi Experiential Learning Theory sebagai sebuah metode belajar dalam Outbound Training? Beberapa tahun belakangan, mulai bermunculan praktisi-praktisi dan provider-provider outbound training yang menggunakan prinsip ELT sebagai bagian dari metode pembelajarannya. Bagi mereka, outbound bukan sekedar aktivitas fisik yang sifatnya rekreasional, menantang, dan melelahkan. Peserta outbound akan diajak untuk belajar lewat pengalaman mereka melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Melalui keberadaan sesi debrief yang intens antara fasilitator dan peserta outbound, pengalaman-pengalaman tersebut akan disarikan menjadi sebuah pembelajaran. Intensitas ini dapat dinilai dari muatan-muatan materi yang akan didiskusikan dalam sesi tersebut, dan durasi waktu yang dialokasikan dalam rundown untuk melakukan prosesnya. Selain itu juga dapat dinilai dari profil dan kompetensi yang dimiliki para fasilitator yang akan memandu peserta outbound.

Di Indonesia, belum banyak provider outbound training yang kredibel, dan secara konsisten menggunakan Experiential Learning Theory sebagai metode pelatihannya. Ini terbukti dari image outbound training yang masih dianggap sebagai kegiatan yang semata-mata rekreasional (bersifat senang-senang), dilaksanakan di luar kota (outing), dan melelahkan (karena banyak aktivitas fisik), tetapi tidak berkaitan dengan program pengembangan SDM, bahkan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja SDM di perusahaan/organisasinya. Oleh karena itu, sebagai calon pengguna jasa provider outbound training, anda perlu lebih jeli dalam menilai kualitas  provider outbound training yang akan anda gunakan, dan lebih bijak dalam memilih provider outbound training tersebut. Percayakan perusahaan/organisasi anda pada provider outbound training yang mampu menunjukkan dan menjelaskan kesesuaian program pelatihannya dengan sistem manajemen SDM yang sudah berjalan di perusahaan/organisasi anda.

(Adi Sujatmika)

Penulis salah seorang pengajar di salah satu universitas swasta terkemuka di Surabaya, aktif di kegiatan pengembangan SDM dan Social Development, dalam beberapa kesempatan turut serta menjadi tim fasilitator SPOT-Specialist Outbound Training.

2 thoughts on “Experiential Learning : Sebuah Metode Pembelajaran dalam Outbound Training”

Leave a Reply to Gustienhana Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *