Perbedaan Gaya Kerja di antara SDM Lintas Generasi yang Bekerja dalam Satu Perusahaan

Setelah kami menerbitkan artikel tentang “7 Generasi yang Mengisi Populasi Dunia“, kali ini kami akan membahas tentang perbedaan gaya kerja lintas generasi. Beberapa tahun belakangan, topik tersebut marak dibahas dalam banyak majalah bisnis terkemuka, seperti Forbes, Harvard Business Review (HBR), dll.

Pasalnya, konflik kerja di antara SDM yang berbeda generasi berpotensi menghambat laju pertumbuhan bisnis sebuah perusahaan. Sebaliknya, jika keragaman generasi yang bekerja bersama dalam perusahaan tersebut dapat dikelola dengan tepat, itu justru akan meningkatkan keuntungan bisnis. Hal ini menjadi tantangan bagi manajemen perusahaan untuk memimpin personil lintas generasi supaya kondisi kedua yang terjadi, bukan yang pertama.

(Sumber gambar: kornferry.com )

Langkah awal yang bisa dilakukan oleh pihak manajemen, yaitu: mengenal perbedaan gaya kerja antar generasi*. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anick Tolbize (2008), variabel ‘work ethic’ merupakan pemicu utama konflik antar generasi dalam bekerja. Dalam penelitian lain, Jane Whitney Gibson dkk (2009) menyebut variabel ‘work value’ sebagai pemicu konflik antar generasi tersebut. Sedangkan, menurut Sean Lyons & Lisa Kuron (2014), selain kedua variabel tersebut, ‘work attitude’ juga dapat memicu konflik antar generasi.


*Belakangan ini hampir di semua perusahaan memiliki SDM yang berbeda generasi. Dan, umumnya, ada 3 generasi yang mendominasi secara kuantitas, yaitu:
Baby Boomers, Xers & Millenials (rentang usia yang membedakan 3 generasi ini dapat anda lihat pada artikel kami sebelumnya). Oleh karena itu, perbedaan gaya kerja antar generasi yang akan kami uraikan di bawah ini, dibatasi hanya pada 3 generasi tersebut.


#1 PERBEDAAN WORK ETHIC

Tabel 1.
Perbedaan ‘Work Ethic’ Antar Generasi
(sumber: www.wmfc.org/uploads/GenerationalDifferencesChart.pdf)

Karena generasi ‘Baby Boomers’ terlahir lebih dahulu daripada generasi ‘Xers’ dan ‘Millennials’, biasanya mereka memiliki jam terbang yang lebih tinggi dalam urusan pekerjaan. Pengalaman kerja yang lebih banyak membuat generasi ‘Baby Boomers’ cenderung terbiasa dengan jam kerja yang panjang. Praktis, kebanyakan dari mereka pun cenderung lebih telaten dalam mengerjakan tugas-tugas kantor yang banyak dengan durasi pengerjaan yang panjang/lama. Bagi mereka, ketelatenan tersebut diperlukan untuk menghasilkan pekerjaan yang berkualitas, dan pencapaian atas kualitas kerja menjadi bukti bahwa mereka berkompeten.

Sebaliknya, bagi generasi ‘Xers’, kualitas kerja dapat dicapai dengan bekerja secara cerdas; tidak harus bekerja keras seperti generasi ‘Baby Booomers’ (work smarter with greater output, not work longer hours). Dengan kata lain, mereka cenderung mementingkan prinsip efisiensi dalam bekerja; pada banyak kasus, ketidakjelasan struktur organisasi dan panduan kerja (seperti: job-descriptions, SOP, dll) kerap mereka keluhkan sebagai penghambat efisiensi kerja. Implikasinya, ketika ada tugas, yang menurut mereka, bukan bagian dari tanggungjawabnya, pengerjaan tugas tersebut biasanya akan dikesampingkan lebih dahulu; itu dianggap bukan prioritas pekerjaan mereka. Hal tersebut membuat mereka cenderung dinilai sebagai sosok yang “bekerja dengan caranya sendiri” oleh generasi ‘Baby Boomers’; padahal itu bagian dari usaha untuk membuktikan bahwa mereka mampu bekerja secara mandiri (self-reliant).

Sedangkan, pada generasi ‘Millennials’, meskipun agak mirip dengan generasi ‘Xers’, mereka lebih gigih untuk berusaha menyelesaikan tugasnya sesuai instruksi. Pada banyak kasus, ketika mereka diberi tugas yang tidak sesuai dengan tanggungjawabnya; keluhan juga akan keluar dari mulut mereka, namun tugas tersebut tetap mereka kerjakan sampai tuntas, sambil berusaha menyelesaikan tanggungjawab utama. Mereka cenderung mampu berhadapan dengan situasi tersebut karena mereka terbiasa untuk bekerja secara multitasking; selain itu, ketika seorang ‘Millennials” memiliki ambisi personal, kegigihan untuk berusaha melewati situasi tersebut jadi semakin kuat (dianggapnya sebagai tantangan). Adanya ambisi personal tersebut juga menunjukkan kecenderungan pada generasi ‘Millennials’ untuk berfokus ada pencapaian tujuan jangka menengah/panjang (what’s next?).

( Sumber Gambar :twotenmag.com )

Di satu sisi, uraian di atas ingin menepis anggapan bahwa generasi yang lebih muda kurang memiliki ‘work ethic’ dibandingkan generasi yang terlahir lebih dahulu. Karena, di sisi lain, yang ada hanyalah perbedaan ‘work ethic’ di antara 3 generasi yang bekerja bersama dalam sebuah perusahaan. Penyesuaian demi penyesuaian, yang diinisiasi pihak manajemen dan diterapkan personil non-manajemen, merupakan kunci keberhasilan untuk menciptakan kolaborasi lintas generasi. Dengan terciptanya kolaborasi tersebut, target bisnis menjadi lebih masuk akal untuk dicapai, bahkan memungkinkan pencapaian yang melampaui target.

#2 PERBEDAAN WORK VALUE

Tabel 2.
Perbedaan ‘Work Value’ Antar Generasi
(sumber: www.wmfc.org/uploads/GenerationalDifferencesChart.pdf)

Salah satu ‘work value’ yang cenderung dianggap penting oleh generasi ‘Baby Boomers’ ialah penghargaan terhadap proses, dibandingkan hasilnya. Beberapa di antaranya berupa: usaha mencapai kinerja terbaik; usaha mengembangkan kemampuan/potensi diri; usaha membangun kolaborasi dan kerja sama tim; usaha memenuhi ambisi/pencapaian pribadi dalam pekerjaan; dan usaha-usaha lain yang kongruen dengan konteks kerja. Fokus pada proses/usaha itulah yang membuat mereka kerap dianggap sebagai “pekerja keras”; dan, kecenderungan menghargai proses/usaha yang kongruen dengan konteks kerja, menunjukkan ‘work value’ mereka yang mengutamakan pekerjaan, dibanding aspek-aspek hidup lainnya.

Hal tersebut berbeda dengan generasi ‘Xers’ yang cenderung mengutamakan keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan di setiap aspek hidup mereka. Selain itu, bagi para ‘Xers’, yang tidak kalah penting dari keseimbangan tersebut ialah hasil yang mereka peroleh, dibandingkan dengan prosesnya. Oleh sebab itu, ketika ada potensi terjadinya ketidakseimbangan yang dapat mempengaruhi pencapaian hasil, mereka tidak segan melakukan improvisasi; inilah yang memunculkan penilaian “bekerja sesuai caranya sendiri” dari generasi ‘Baby Boomers’ kepada generasi ‘Xers’. Jika improvisasi tersebut tidak memungkinkan untuk mereka lakukan pada sebuah tugas, mereka dengan mudah mengesampingkanya dan berpindah ke tugas lain; bahkan, jika itu juga tidak mungkin dilakukan, mereka tidak berpikir dua kali untuk berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Kasus tersebut menunjukkan ‘work value’ mereka yang lain, yaitu mementingkan kenyamanan dalam bekerja; kenyamanan ini berupa: bisa melakukan pekerjaan yang punya makna; bisa mendapatkan kesempatan untuk berinovasi dalam bekerja; bisa membangun relasi informal antar rekan kerja; bisa berada dalam lingkungan kerja yang menyenangkan; dan berbagai situasi lain yang mendukung kenyamanan kerja mereka. Satu ‘work value’ lagi yang juga penting untuk diperhatikan pada generasi ‘Xers’, yaitu orientasinya untuk bekerja dengan mempergunakan kemajuan teknologi.

Sebetulnya, generasi ‘Millennials’ juga memiliki ‘work value’ yang tidak jauh berbeda dengan generasi ‘Xers’; hanya saja, mereka lebih mudah untuk “dikendalikan” oleh generasi ‘Baby Boomers’. Pasalnya, generasi ‘Millennials’ ini cenderung “haus untuk belajar”, dan ini merupakan bentuk ‘work value’ mereka yang lain. Sepanjang mereka memperoleh arahan/bimbingan dari atasan maupun rekan kerja yang lebih senior, generasi ‘Millennials’ yang berorientasi pada masa depan karir mereka ini, akan berusaha menyesuaikan diri dengan situasi di kantornya. Kecuali, jika situasi yang terjadi dalam pekerjaan bertabrakan dengan kepentingan keluarga mereka; generasi ‘Millennials’ akan lebih memprioritaskan urusan keluarga daripada yang lainnya. Perbedaan ‘work value’ lain yang cukup mencolok pada generasi ‘Millennials’ ialah kecenderungan mereka dalam mengoptimalkan pendayagunaan teknologi digital untuk bekerja; bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa, selama ada teknologi digital, bekerja seharusnya tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.

Berdasarkan uraian di atas, yang berbeda dari ‘work value’ antara generasi ‘Baby Boomers’, ‘Xers’ & ‘Millennials’ ialah orientasi mereka dalam hidup. ‘Baby Boomers’ cenderung berorientasi pada pekerjaan (karir); ‘Xers’ pada keseimbangan (work-family balance); dan ‘Millennials’ pada keluarga. Selain itu, juga berbeda dalam hal orientasi dalam pekerjaan; generasi ‘Baby Boomers’ cenderung berorientasi pada proses/usaha, sedangkan ‘Xers’ & ‘Millennials’ pada hasil/capaian. Dan, yang terakhir, berkaitan dengan penghargaan terhadap teknologi; ‘Baby Boomers’ terbiasa bekerja secara “manual” dan relatif lamban dalam mempelajari cara penggunaan teknologi dalam pekerjaan; sebaliknya, ‘Xers’ & ‘Millennials’ lebih adaptif dengan penggunaan teknologi (pada generasi ‘Millennials’, mereka lebih terbiasa mendayagunakan teknologi digital daripada ‘Xers’).

#3 PERBEDAAN WORK ATTITUDE

Tabel 3. Perbedaan ‘Work Attitude’ Antar Generasi
(sumber: www.wmfc.org/uploads/GenerationalDifferencesChart.pdf)

Jam terbang yang tinggi pada generasi ‘Baby Boomers’ membuat mereka merasa pola/cara kerjanya telah teruji oleh waktu. Hal ini turut membentuk kecenderungan ‘work attitude’ yang menyukai zona nyaman, sehingga mereka sulit bekerja secara dinamis (don’t like change); adanya kritikan, masukan, perubahan dan konflik kerap dianggap sebagai ancaman. Selain itu, juga membentuk kecenderungan ‘work attitude’ yang egosentris (self-centered); umumnya, ini terllihat dari kebiasaan suka menuntut orang lain untuk mempergunakan pola/cara kerja yang mereka miliki. Apabila ada hal yang kurang berkenan di mata generasi ‘Baby Boomers’, mereka biasanya tidak akan melakukan konfrontasi, namun juga tidak melakukan verifikasi; melainkan, langsung memberikan penilaian “buruk” terhadap hal tersebut (judgmental if disagree).

Sebaliknya, generasi ‘Xers’ justru menyukai hal-hal yang dinamis. Dalam praktiknya, mereka cenderung lebih nyaman untuk bekerja dengan orang-orang yang bisa melakukan banyak hal (respect competance); dan juga, cenderung menolak adanya syarat/ketentuan yang kaku untuk melakukan hal-hal tersebut (dislike rigid work requirements). Implikasinya, jumlah generasi ‘Xers’ dalam sebuah perusahaan, yang benar-benar ahli di bidangnya, dapat dihitung dengan jari (lack people skills). Namun, kemampuan yang generalist tersebut justru menjadi nilai tambah karena mereka memiliki pengalaman kerja yang beragam (build portable resume).

Sedangkan, pada generasi ‘Millennials’, karena pengalaman kerja yang minim, mereka cenderung punya ‘work attitude’ yang mengandalkan supervisi (need supervision). Hal tersebut diperlukan untuk mengimbangi beberapa ‘work attitude’ mereka yang belum terasah, yaitu konsistensi (lack discipline) dan ketekunan (impatient). Namun, jika supervisi tersebut bersifat otoriter/bernuansa senioritas, mereka malah akan bersikap acuh. Selain ‘work attitude’ yang telah disebutkan, para ‘Millennials’ juga kerap tergagap-gagap ketika berhadapan dengan ‘difficult people’ di lingkungan kerja mereka.

(Sumber Gambar: peoplematters.in )

Perbedaan ‘work ethic’ dan ‘work value’ yang dimiliki masing-masing generasi ikut mempengaruhi pola-pola mereka dalam bekerja (work attitude) di sebuah perusahaan. Senioritas yang melekat pada SDM generasi ‘Baby Boomers’ membuat mereka “kaku” dalam menjalankan pekerjaannya; berbeda dengan SDM generasi ‘Xers’ & ‘Millennials’ yang lebih fleksibel (dinamis). Hanya saja, jika generasi ‘Xers’ sama sekali tidak bisa mentolerir adanya “kekakuan” tersebut; generasi ‘Millennials’ lebih dapat beradaptasi, selama itu dapat membantu mereka dalam men-supervisi pekerjaan mereka.

PENUTUP

Inilah bagian akhir dari artikel kami yang membahas tentang perbedaan gaya kerjadi antara SDM lintas generasi. Di atas telah kami uraikan ‘work ethic’, ‘work value’ & ‘work attitude’ dari masing-masing generasi. Kami berharap uraian tersebut dapat membantu anda dalam memahami gaya kerja generasi ‘Baby Boomers’, ‘Xers’ & ‘Millennials’ yang berbeda.

Berkaitan dengan langkah untuk mengelola (potensi) konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan gaya kerja tersebut; Daniel Goleman, seorang pakar ‘Emotional Intelligence’ (EI), menyebutkan ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola konflik kerja secara efektif. Salah satu di antaranya terbukti relevan dengan topik bahasan kami dalam artikel ini (perbedaan karakteristik SDM lintas generasi dalam bekerja). Apa itu? Nantikan saja artikel kami selanjutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *