Memahami Design Thinking : Pola Pikir, Proses, dan Pendekatan

thinking

Dalam beberapa dekade terakhir, kreativitas dan inovasi menjadi faktor penentu dari keberlangsungan eksistensi sebuah industri, baik barang maupun jasa. Di Indonesia, pemerintah mendorong para pelaku industri untuk berkreasi dan berinovasi agar industri nasional punya daya saing terhadap industri asing. Tidak hanya itu, guna memfasilitasi terwujudnya inovasi industri, pemerintah membentuk Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Keduanya memiliki pelbagai program dan kegiatan yang bertujuan untuk mendongkrak terciptanya produk-produk nasional yang kreatif dan inovatif.

Setiap industri yang mampu menciptakan produk yang kreatif dan inovatif pasti didukung oleh individu yang memiliki kreativitas dan inovasi. Anda tentu tahu, kesuksesan Apple Inc dalam industri teknologi tidak dapat dilepaskan dari peran serta almarhum Steve Jobs. Seperti halnya PT Aplikasi Karya Anak Bangsa dan Nadiem Makarim dalam industri transportasi di Indonesia; yang menjadi pioneer jasa layanan angkutan umum berbasis daring (Gojek).

Kabar baiknya, kreativitas dan inovasi merupakan kemampuan yang dapat dipelajari oleh siapapun. Setidaknya, klaim tersebut berhasil dibuktikan Universitas Stanford melalui sebuah program studi yang dinamakan “d.school”. Jika anda pernah mempergunakan LinkedIn Pulse, itu merupakan salah satu inovasi dalam industri teknologi dan informasi yang dibuat oleh alumninya: Akshay Kothari dan Ankit Gupta.

Keberhasilan Stanford d.school tidak dapat dilepaskan dari, yang dinamakan sebagai, Design Thinking; atau kerap disandingkan dengan istilah “human-centered design”. Secara praktis, Design Thinking adalah sebuah metode yang mengedepankan kreativitas dalam memecahkan permasalahan (creative problem-solving). Sedangkan, secara konseptual, Design Thinking memiliki 3 “bentuk”, antara lain: sebagai sebuah (1) pola pikir, (2) proses, dan (3) pendekatan.

Di dalam buku “Creative Confidence” (2013), Duo Kelley—David dan Tom menyebutkan:

“A creative mindset can be a powerful force for looking beyond the status quo. People who use the creative techniques we outline are better able to apply their imagination to painting a picture of the future. They believe they have the ability to improve on existing ideas and positively impact the world around them, whether at work or in their personal lives. Without that belief, they wouldn’t have been able to take the first step toward his goal.”

“Creative Confidence” (2013), Duo Kelley—David dan Tom (Hlm. 44)

Pernyataan tersebut menunjukkan, pola pikir (mindset) bisa menumbuhkan keyakinan (belief) dalam diri setiap orang; bahwa dirinya mampu membawa perubahan positif lewat ide-ide yang ia miliki. Dengan kata lain, sebelum kita menerapkan Design Thinking (sebagai sebuah proses maupun pendekatan), yang perlu dilakukan ialah membangun pola pikir.

Berikut ini 3 (tiga) langkah membangun pola pikir Design Thinking yang dapat membantu kita untuk berubah menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, yaitu:

  1. Dare—berani mendobrak status quo meskipun harus berhadapan dengan tantangan;
  2. Spark—gagas ide sebanyak mungkin sebelum menghasilkan solusi terbaik;
  3. Leap—aktualisasi dan ujicoba ide terbaik secepat mungkin untuk menyempurnakannya.

I. Dare: From Fear to Courage

from fear to courage
Fear to Courage

Semua orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi kreatif dan inovatif. Akan tetapi, hanya sebagian saja yang punya keberanian. Sebagian lainnya, takut mencetuskan ide yang kreatif dan inovatif; bahkan, ada pula yang takut membayangkan sosok dirinya yang penuh kreativitas dan inovasi.

Ketakutan tersebut berasal dari pengalaman tidak menyenangkan ketika dirinya maupun orang lain menunjukkan kreativitas dan inovasinya di depan umum. Misalnya: dianggap sebagai pribadi yang aneh, mengalami pengabaian/tidak di-apresiasi, mendapatkan ejekan, dan lain sebagainya.

Bagi anda yang merasa punya keberanian untuk mengekspresikan potensi kreativitas dan inovasi yang anda miliki, anda bisa membaca langkah berikutnya. Sedangkan, bagi anda yang diliputi rasa takut, beberapa poin di bawah ini bisa membantu anda jadi lebih berani.

  • Coba sampaikan ide-ide yang anda punya kepada rekan kerja/teman pergaulan/anggota keluarga yang anda yakini akan memberikan respon positif terhadap anda.
  • Coba selesaikan permasalahan sederhana yang anda hadapi dengan cara-cara yang belum pernah anda lakukan sambil tetap memperhitungkan resiko/konsekuensinya.
  • Coba berikan beberapa alternatif solusi kepada orang yang datang kepada anda untuk meminta masukan atas permasalahan yang sedang ia hadapi saat ini.
  • Coba tuliskan bucket-lists tentang rencana kegiatan/aktivitas “di luar kebiasaan” yang akan anda lakukan selama 7 hari ke depan, dan ceritakan kepada orang yang anda percaya.

Poin-poin yang kami paparkan di atas merupakan penyesuaian dari teknik “Guided Mastery” yang biasa diterapkan oleh Albert Bandura (seorang ahli perilaku di bidang Psikologi Sosial). Tujuan dari teknik tersebut untuk meningkatkan self-efficacy dalam diri seseorang ketika berhadapan dengan objek yang ia takuti.

II. Spark: From Blank Page to Insight

from blank page to insight
From Blank to Insight

Semua orang memiliki kapasitas yang sama dalam menghasilkan ide, baik itu yang sederhana maupun yang kompleks. Hanya saja, sebagian orang kerap meremehkan hal-hal sederhana sehingga mengabaikannya begitu saja; atau sebaliknya, terlalu berfokus pada kompleksitas sehingga melewatkan hal-hal sepele yang penting. Sebagian lainnya malah belum/kurang terampil dalam mempergunakan kapasitas tersebut sehingga acapkali kehabisan ide.

Berikut ini beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi/mengoptimalkan kapasitas anda dalam menghasilkan ide-ide cemerlang:

  • Perhatikan sekitar.Strategi ini terinspirasi dari perilaku anak-anak. Seperti kita ketahui, anak-anak tumbuh dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Hal tersebut mendorong ketertarikan mereka untuk mengamati segala sesuatu yang ada di sekelilingnya; bahkan, yang menurut orang dewasa “biasa saja” dapat dianggap menarik bagi anak-anak. Melalui pengamatan itulah anak-anak mempelajari banyak hal yang memperkaya khazanah pengetahuan mereka. Kemudian, kita tinggal menunggu waktu saja bilamana mereka mengucapkan celetukan atau menunjukkan tindakan yang out-of-the-box.
  • Tanpa kita sadari, rutinitas telah menumpulkan ketertarikan masa kecil kita terhadap sesuatu yang kita anggap “biasa saja” di kala dewasa. Dengan lebih memperhatikan hal-hal “biasa saja” di sekitar kita, dan memaknai ulang keberadaannya, kita pun dapat menghasilkan sesuatu yang out-of-the-box.
  • Eksplorasi masalah. Biasanya, saat kita berhadapan dengan masalah, secara otomatis, kita akan mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Agar kita dapat memperoleh solusi yang tepat, langkah awal yang seharusnya kita lakukan ialah menemukan inti masalah. Pada tahap inilah berlangsung proses yang disebut sebagai eksplorasi masalah. Dengan mengeksplorasi permasalahan, selain dapat menemukan inti masalahnya, kita juga akan memperoleh gambaran “jaring-jaring masalah” dari permasalahan tersebut. Jaring-jaring masalah memungkinkan kita untuk menghasilkan lebih banyak ide yang bisa kita jadikan alternatif solusi. Berikutnya, kita tinggal menentukan alternatif solusi mana yang sekiranya efektif dalam menyelesaikan inti masalah
  • Kembangkan empati. Tujuan dari empati ialah memahami kebutuhan seseorang melalui pengalamannya. Sebuah pengalaman memiliki kekayaan informasi berupa cara pandang, emosi yang dirasakan, hingga perilaku seseorang dalam merespon stimulus tertentu. Kekayaan informasi tersebut dapat kita pergunakan untuk menghasilkan ide-ide yang sesuai dengan kebutuhan.
  • Akan tetapi, memahami kebutuhan tidak semudah membalikkan telapak tangan karena setiap orang punya kepribadian dan karakteristik unik masing-masing. Misalnya saja, orang bertipe ekstrover akan lebih terbuka dalam berbagi pengalaman sedangkan yang introver tentu lebih tertutup; namun, ada pula kecenderungan dimana orang introver justru lebih memahami kebutuhannya daripada orang ekstrover. Oleh sebab itu, upaya mengembangkan empati perlu dilakukan lewat pelbagai bentuk interaksi (bukan hanya lewat percakapan melainkan juga pengamatan).
  • Atasi ketegangan. Kadangkala pikiran kita mengalami kebuntuan dalam menghasilkan sebuah ide. Biasanya itu terjadi di saat kita terlalu fokus pada proses pencarian ide tersebut. Akibatnya, kita malah merasakan ketegangan sehingga gagal untuk berpikir, apalagi menemukan sebuah ide. Supaya pikiran kita dapat kembali menghasilkan banyak ide, tentunya, kita harus mengatasi ketegangan tersebut.
  • Berusaha untuk tetap dalam kondisi relaks merupakan kunci dari strategi ini. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk merelaksasi diri, mulai dari bersantai sejenak hingga bermeditasi. Apakah anda pernah mengalami situasi dimana ide-ide justru muncul dengan sendirinya ketika anda sedang duduk/jongkok di dalam toilet? (Padahal anda tidak sedang berusaha memikirkan hal tersebut)

III. Leap: From Planning to Action

From planning to action
Let’s Go

Anda tentu pernah mendengar nama Thomas Alva Edison, bukan? Dirinya merupakan penemu paling fenomenal sepanjang abad (setelah 1000 kali percobaan, akhirnya ia berhasil menyempurnakan temuannya, yaitu: bola lampu). Seandainya kita bisa memeriksa rancangan dari setiap bola lampu yang ia ujicobakan, mulai awal hingga akhir, pasti terdapat perbedaan.

Dengan kata lain, ide dasar dan ide yang telah matang tentu saja berbeda. Untuk mematangkan ide, kita perlu melakukan uji coba. Melalui pengujicobaan ide, kita memperoleh banyak masukan yang berguna untuk melakukan perbaikan. Konsekuensinya, kita harus siap melakukan percobaan berulang kali sebelum akhirnya menghasilkan ide yang matang.

Pada prinsipnya, langkah ketiga ini berusaha mendorong kita untuk mentransformasi ide yang abstrak menjadi lebih konkrit; dari sebuah rancangan menjadi bentuk purwarupa (yang kemudian diujicobakan) hingga hasil akhirnya terealisasi. Misalnya, seseorang ingin membangun perumahan sesuai dengan gambaran yang ia inginkan (ide). Seorang arsitek biasanya akan membuat sketsa bangunan (bentuk purwarupa 1) berdasarkan keinginan orang tersebut; dari sketsa itulah si arsitek meneruskan dengan membuat maketnya (bentuk purwarupa 2); jika disetujui maka dibuatlah bangunan percontohan (bentuk purwarupa 3).

Dari contoh proses di atas, masing-masing tahapan (bentuk purwarupa) pasti akan mendapatkan masukan dari berbagai pihak sebelum beralih ke tahap berikutnya. Masukan-masukan tersebut juga pasti akan mengurangi/menambah unsur-unsur yang terdapat dalam setiap bentuk purwarupa. Setiap kali ada masukan yang diberikan, tentunya, ide-ide yang termuat di dalamnya akan mengalami perubahan. Di sinilah nampak bahwa ide dasar telah berkembang seiring dengan pengujicobaan bentuk purwarupa, hingga hasil akhirnya jadi.

Secemerlang apapun sebuah ide, apabila kita tidak mengetahui wujud konkritnya, itu sama dengan memiliki harapan yang tidak bisa terealisasi. Sebaliknya, sekecil apapun usaha untuk memberikan wujud pada sebuah ide, itu akan menjadi lompatan besar untuk menuju hasil akhirnya. Anda bisa bayangkan jika si arsitek tidak permah membuat sketsa/maket/bangunan percontohan yang sesuai dengan permintaan; tetapi ia nekat membangun perumahan tersebut, apa yang akan terjadi?

Implementasi Pola Pikir Design Thinking (Dare-Spark-Leap) : Kreativitas dan Inovasi di Tengah Pandemi Virus Corona (COVID-19)

Laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia melambat karena pandemi Virus Corona, sebagian besar industri pun ikut terkena dampaknya. Supaya mereka dapat bertahan, segala bentuk penyesuaian harus dilakukan; misalnya yang dilakukan para pengusaha di industri konveksi, dengan beralih barang produksi—dari pakaian/tas menjadi alat pelindung diri/masker.

Di tengah keseragaman para pengusaha konveksi yang berlomba-lomba memproduksi masker, seorang warga di Sleman membuat masker khusus untuk orang dengan disabilitas (tuna rungu). Berikut ini alasan Dwi Rahayu Februarti yang secara kreatif dan inovatif membuat masker transparan bagi para tuna rungu tersebut.

Masker itu untuk mempermudah komunikasi, karena kalau (masker) tutup total dari teman-teman tuli tidak bisa melihat ekspresi dan gerakan bibir jadi tidak bisa memahami komunikasinya.”

Sumber: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4980725/inovatif-warga-sleman-ini-bikin-masker-transparan-untuk-tuna-rungu

Dengan berbekal kemampuan menjahit yang ia kuasai, dibuatnya bentuk purwarupa dari masker khusus tersebut. Setelah ia mendapatkan banyak masukan, akhirnya ia menemukan rancangan masker transparan yang ergonomis dipergunakan oleh para tuna rungu.

Kami minta masukan seperti kemarin bagian yang transparan menempel di bibir akhirnya jahitan dibuat agak ke depan agar tidak nempel.” (dilansir dari portal berita detikcom)

Setiap hari ia bisa memproduksi sekitar 5-15 masker. Jika ada orang dengan tuna rungu yang membutuhkan masker tersebut, ia memberikannya dengan cuma-cuma. Tidak hanya itu, ia juga berharap, mereka (orang dengan tuna rungu) dapat memproduksi sendiri masker tersebut, entah untuk dipakai atau dijual.

Buatnya dibantu suami. Sehari bisa 5-15 masker dan semua dibagikan gratis ke teman-teman tuli dengan harapan mereka bisa membuat sendiri. Bisa untuk dipakai atau dijual.” (dilansir dari portal berita detikcom)

Kerja yang dilakukan oleh Dwi Rahayu Februarti tersebut sesuai dengan prinsip utama Design Thinking: human-centered. Kita dapat melihat bahwa ia berfokus pada kebutuhan orang dengan tuna rungu; untuk mampu berkomunikasi secara efektif saat mereka mempergunakan masker.

Kepekaan itu diikuti dengan keberaniannya untuk mendobrak status quo (masker yang umumnya beredar dirancang dengan menyesuaikan “kondisi normal”); dengan membuat masker khusus bagi para tuna rungu. Hal tersebut menunjukkan implementasi pola pikir Design Thinking yang pertama—Dare.

Karena ia mengerti cara komunikasi orang dengan tuna rungu (yang bergantung pada kemampuan membaca ekspresi dan gerak bibir lawan bicaranya); ia merancang masker dengan bagian wajah/mulut yang terlihat (transparan). Kemampuan berempati, yang memunculkan ide dasar dari masker transparan buatannya, merupakan contoh implementasi pola pikir Design Thinking yang kedua—Spark.

Dari ide tersebut, ia coba mengaktualisasikannya ke dalam bentuk purwarupa, kemudian mengujicoba dan memperbaiki desainnya; hingga tercipta masker transparan yang ergonomis dipergunakan oleh orang dengan tuna rungu. Proses tersebut menggambarkan implementasi pola pikir Design Thinking yang ketiga—Leap.

Masker khusus buatan Dwi Rahayu Februarti memang bukan contoh sempurna dari implementasi pola pikir Design Thinking. Meskipun tidak sempurna, hanya dengan pola pikir Design Thinking saja, ia dapat menghasilkan produk yang kreatif dan inovatif. Bayangkan jika ia mengimplementasikan seluruh konsep Design Thinking—sebagai pola pikir, proses, dan pendekatan; tentu itu akan mengoptimalkan kreativitas dan inovasinya.

Di dalam konsep “Design Thinking sebagai sebuah proses” terdapat kerangka kerja (framework) untuk menghasilkan produk yang kreatif dan inovatif; sedangkan, “Design Thinking sebagai sebuah pendekatan” menyediakan banyak pilihan perangkat (toolbox) untuk mengeksplorasi kreativitas dan inovasi. Pemaparan yang lebih mendetil akan kami bahas pada artikel-artikel berikutnya.

(Adi Sujatmika)

Penulis salah seorang pengajar di salah satu universitas swasta terkemuka di Surabaya, aktif di kegiatan pengembangan SDM dan Social Development, dalam beberapa kesempatan turut serta menjadi tim fasilitator SPOT-Specialist Outbound Training.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *