Secara konseptual, Design Thinking memiliki 3 “bentuk”, antara lain: sebagai sebuah (1) pola pikir, (2) proses, maupun (3) pendekatan. Pada artikel sebelumnya,Memahami Design Thinking : Pola Pikir, Proses, dan Pendekatan , kami telah membahas Design Thinking sebagai sebuah pola pikir. Pola pikir tersebut penting untuk dipahami terlebih dahulu sebelum kita menerapkan Design Thinking sebagai sebuah proses maupun pendekatan.
Kali ini kami kan membahas tentang Design Thinking sebagai sebuah proses. Di dalamnya terdapat kerangka kerja (framework) untuk menghasilkan produk yang kreatif dan inovatif.
Sejak penggunaannya pada era tahun 70-an hingga era milenium baru, Design Thinking juga memiliki kerangka kerja yang bervariasi (lihat Diderich, 2020). Namun demikian, ada beberapa yang populer digunakan hingga sekarang, misalnya: 3 kontinum inovasi ala Tim Brown dari IDEO, dan 5 tahapan Design Thinking versi Stanford d.School.
Tiga Kontinum Inovasi (Tim Brown, IDEO)
Inspiration
Fase pertama ini diartikan sebagai “masalah atau peluang yang memotivasi berlangsungnya proses pencarian solusi”. Biasanya diawali dengan penyusunan brief—seperangkat batasan mental yang menunjukkan target capaian, kerangka kerja, dan acuan dalam mengukur perkembangan/hasil. Meskipun jadi “batasan mental”, sebuah brief harus bisa menyediakan ruang bagi fleksibilitas berpikir sehingga mampu memunculkan ide-ide terobosan.
Berikutnya, berdasarkan brief tadi, proses penggalian kebutuhan bisa dilakukan. Cara tradisional yang biasa dilakukan, namun kurang efektif, untuk menggali kebutuhan, yaitu: survei dan diskusi kelompok terfokus. Dalam banyak kasus, kedua cara tersebut memang berhasil memunculkan hal-hal yang diinginkan banyak orang; namun belum tentu menjadi kebutuhan mereka. Seperti yang pernah dikatakan Henry Ford, “If I’d asked my customers what they wanted, they’d have said ‘a faster horse”.
Cara yang lebih efektif untuk menggali kebutuhan ialah turun ke lapangan dan mengobservasi pengalaman aktual dari subjek sasaran. Dalam melakukannya, titik berat observasi terletak pada, yang disebut Brown (2009), “Watching what people don’t do and listening to what they don’t say”. Hal yang diobservasi bukan hanya perilaku individu tetapi juga aspek antropologis, geografis, dan aspek lain yang relevan mempengaruhi perilaku. Setiap data observasi tersebut dianalisis dan disimpulkan ke dalam sebuah pernyataan (problem statement).
Ideation
Fase kedua ini diartikan sebagai “proses menggagas, mengembangkan, dan menguji ide-ide”. Berdasarkan problem statement dari fase pertama, kemudian, dilakukan brainstorming untuk menghasilkan ide-ide. Linus Pauling pernah berkata, “To have a good idea you must first have lots of ideas”. Dengan kata lain, semakin banyak ide yang digagas, semakin tinggi peluang untuk menghasilkan solusi yang efektif dan efisien; sekaligus juga meningkatkan kompleksitas dalam proses pengembangan dan pengujiannya.
Supaya brainstorming dapat berlangsung secara optimal diperlukan cara berpikir divergen. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sebuah tim kerja dengan latar belakang personil yang bervariasi. Akan tetapi, konsekuensinya, dalam lingkungan kerja yang majemuk tersebut, para personilnya dituntut untuk memiliki kualitas, yang disebut, “T-Shaped”. Artinya, setiap personal harus menguasai bidang keilmuan/keahlian (disiplin) yang ia miliki sekaligus memiliki pemahaman lintas disiplin; dengan begitu, kolaborasi dalam tim kerja yang majemuk dapat terjadi.
Selain itu, dalam tim kerja yang majemuk tersebut, setiap personil juga dituntut untuk memiliki kemampuan berempati. Brown & Wyatt (2010) menyebutkan, “Empathy tends to be expressed as openness, curiosity, optimism, a tendency toward learning through doing, and experimentation”. Dengan empati, setiap personil merasa terbebas dari rasa takut akan judgement, sehingga dapat menggagas ide sebanyak-banyaknya; dan juga, itu dapat mengoptimalkan kinerja tim kerja dalam proses pengelompokan dan pengurutan ide.
Implementation
Fase ketiga ini diartikan sebagai “jalur yang mengarahkan ide terbaik menuju realisasi”, baik itu barang/jasa. Diawali dengan membuat bentuk purwarupa dari sebuah ide (prototyping). Kemudian, bentuk purwarupa tersebut diujicoba, dievaluasi dan diperbaiki secara terus-menerus (iteration).
Proses di atas dapat menunjukkan kelebihan/kekuatan, kekurangan/kelemahan, maupun peluang dan tantangan sebuah produk (barang/jasa) sebelum itu dipasarkan. Hal tersebut dapat meningkatkan reliabilitas kesuksesan sebuah produk; menghindari kerugian akibat dihasilkannya produk gagal (kualitas produk yang buruk maupun produk yang kurang diminati pasar).
Setelah selesai dengan proses prototyping dan telah menghasilkan sebuah produk yang matang, berikutnya, tim kerja membantu merancang strategi komunikasi. Multimedia storytelling merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengkomunikasikan produk tersebut kepada para stakeholder, baik internal maupun eksternal.
Lima Tahapan Design Thinking (Stanford d.School)
Empathize
Dalam tahap pertama ini berlangsung proses memahami permasalahan/tantangan yang sedang dihadapi oleh pelanggan/pengguna (disebut juga, kebutuhan). Tiga metode yang kerap dipergunakan, antara lain: observasi, wawancara, dan pengukuran.
Define
Dalam tahap kedua ini berlangsung proses formulasi permasalahan/tantangan menjadi sebuah pernyataan/pertanyaan yang berusaha ditemukan solusinya/jawabannya. Pernyataan/pertanyaan tersebut diformulasikan dengan menggunakan sudut pandang pelanggan/pengguna. Kadangkala, formulasi pernyataan/pertanyaan tersebut juga menggambarkan pokok permasalahan/tantangan utama dari data yang diperoleh pada tahap sebelumnya.
Ideate
Dalam tahap ketiga ini berlangsung proses brainstorming ide untuk menemukan solusi/mencari jawaban dari formulasi permasalahan/tantangan pada tahap sebelumnya. Tidak semua ide dapat diterima; ide-ide yang mustahil untuk dieksekusi (karena keterbatasan dana, waktu, sumber daya, dan lain sebagainya) akan tereliminasi.
Prototype
Dalam tahap keeempat ini berlangsung proses men-transformasi ide ke dalam bentuk yang lebih konkrit; membuat bentuk purwarupa (prototyping). Proses yang berulang (iterative) merupakan kunci kesuksesan dari tahap ini; melalui pengulangan tersebut, ide-ide dasar akan terus-menerus diperbaharui hingga sesuai dengan kebutuhan pelanggan/pengguna.
Test
Dalam tahap kelima ini berlangsung proses pengujian bentuk purwarupa. Berdasarkan hasil ujicoba itulah bentuk purwarupa akan terus mengalami perubahan hingga tervalidasi menjadi sebuah solusi yang efektif. Kunci dari tahap ini ialah eksperimentasi yang menyeluruh; setiap aspek dari produk (dalam bentuk purwarupa) diujicobakan kepada seluas-luasnya pengujicoba.
Konklusi
Gambar tersebut menunjukkan bahwa Design Thinking, sebagai sebuah proses, selalu diawali dengan eksplorasi permasalahan atau kebutuhan klien (pelanggan/pengguna). Problem statement yang menjadi akhir dari proses Inspiration (dalam 3 kontinum inovasi Tim Brown—IDEO) sama dengan proses Define (dalam 5 tahapan Design Thinking Stanford d.School). Dari situlah dimulai eksplorasi terhadap ide-ide yang akan menjadi solusi bagi pokok permasalahan/kebutuhan utama klien tersebut (Ideation/Ideate). Dari banyaknya ide yang berhasil digagas, beberapa di antaranya berusaha diwujudkan secara “konkrit” dalam proses Implementation maupun Prototype.
Sepanjang berlangsungnya proses-proses tersebut, kemampuan berpikir divergen dan konvergen ikut beroperasi secara bergantian. Kemampuan berpikir divergen (divergent thinking) diperlukan untuk menghasilkan banyak informasi, misalnya dalam kegiatan brainstorming. Sedangkan, kemampuan berpikir konvergen (convergent thinking) diperlukan dalam proses analisis dan mengambil keputusan.
Dan, yang terakhir, sekaligus kunci dari efektivitas proses dalam kerangka kerja Design Thinking, ialah pengujian yang dilakukan secara berulang. Hanya melalui proses trial & error dalam pengujian itulah sebuah ide yang kreatif dapat ditransformasi menjadi produk yang inovatif.
Referensi
Brenner, W., Uebernickel, F., & Abrell, T. (2016). Design thinking as mindset, process, and toolbox. In Design thinking for innovation (pp. 3-21). Springer, Cham.
Brown T (2008) Design Thinking. Harvard Business Review June 2008:84–95.
Brown T (2009) Change by design: how design thinking transforms organizations and inspires innovation. Harper Collins, New York.
Diderich, C. (2020). Recognizing Key Insights That Make Design Thinking Valuable to Strategy. In Design Thinking for Strategy (pp. 15-28). Springer, Cham.
Penulis salah seorang pengajar di salah satu universitas swasta terkemuka di Surabaya, aktif di kegiatan pengembangan SDM dan Social Development, dalam beberapa kesempatan turut serta menjadi tim fasilitator SPOT-Specialist Outbound Training.