Jemparingan Menyapa Zaman

Salah satu kegiatan Jemparingan yang diadakan oleh tim SPOT.

Hidup merupakan sumber inspirasi terbesar dari umat manusia dalam menciptakan kebudayaannya yang berkembang dan akan selalu ada selama manusia sebagai faktor pendukungnya masih ada. 

Adapun budaya itu sendiri merupakan perkembangan dari kata majemuk “budi – daya” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa (Poerwanto, 2000 : 51-52).

Di dalam masyarakat Jawa telah berkembang kebudayaannya sendiri yang telah berevolusi dalam kurun waktu yang panjang. Pada saat ini yang diakui sebagai budaya Jawa merujuk pada peninggalan Kesultanan Mataram 1586 – 1755 yang sampai detik ini masih diwarisi dan dijaga oleh salah satu penerusnya yakni Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Banyak produk budaya yang berupa tata nilai, norma, cara berpakaian, kesenian dan lain sebagainya yang masih terpelihara menembus waktu.

Adapun salah satu tata nilai budaya yang dicetuskan oleh Raja Hamengkubuwana I (1755–1792) dan berkembang sampai saat ini di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh. Jika diartikan secara bebas sebagai berikut ;  Sawiji adalah menyatu, Greget adalah semangat, Sengguh adalah percaya diri, dan Ora mingkuh adalah bertanggungjawab. Hal ini merupakan rangkaian nilai yang dapat mewujudkan watak satriya atau dalam kata lain watak yang dimiliki untuk menjadi manusia Jawa seutuhnya.

Sejarah

Salah satu cara pembelajarannya yang dilakukan secara turun-temurun adalah melalui sebuah aktifitas panahan yang di Jawa lebih dikenal sebagai Jemparingan. Yakni sebuah aktivitas memanah sebuah target yang dinamakan bandul dengan posisi duduk bersila di tanah. Dalam sejarah, hal ini dikenalkan pertama kali oleh Raja Hamengkubuwana I kepada semua orang yang ada di dalam benteng Kraton.

Di mana pada saat itu Jemparingan dilakukan dengan memposisikan busur pada posisi horisontal dan tarikan anak panahnya sampai menyentuh posisi jantung (baca: hati, dalam bahasa jawa manah = hati). Dengan teknik ini, pemanah membidik sasaran tidak dengan mata namun dengan rasa (baca: roso). Kelak ini disebut sebagai teknik Jegulan.

Pada tahun 1940 munculah perkembangan ‘teknik’ Jemparingan baru yang dibuat oleh Paku Alam VIII dengan ‘mengawinkan’ Jemparingan dengan panahan moderen. Meskipun sama-sama bersila, namun busur/gendewa-nya dirubah menyerupai busur panahan recurve serta anak panahnya menyerupai anak panah modern. Dengan posisi busur diagonal/ miring 30-35 derajat. Hal ini dilakukan agar masyarakat bisa dengan mudah mempelajari jemparingan karena ‘lebih logis’ masih bisa membidik sasaran dengan mata. Kelak ini disebut sebagai tehnik Kalang Kinantang.

Filosofi

Jemparingan sebagai bagian dari budaya Jawa yang sampai saat ini berkembang di masyarakatnya sarat akan muatan filosofi hidup.

Perwujudan dari nilai Sawiji dalam jemparingan adalah ketika pemanah yang sudah melatih tekniknya berulang kali dan dalam waktu yang sama melakukan proses evaluasi atas usaha yang sudah dilakukan. Sehingga pada satu titik pemanah sudah secara auto melaksanakan aktivitas memanahnya tanpa ‘berpikir’, tanpa terganggu dengan keadaan diluar dirinya, dan membidik sasaran bukan dengan mata namun dengan rasa . Atau dalam istilah modern proses belajar di Jemparingan sebenarnya adalah sebuah proses belajar tentang Meta skill

Perwujudan nilai Greget dalam Jemparingan adalah ketika pemanah menarik gendewa-nya. Apabila tidak ditarik sampai maksimal, maka anak panah tidak akan sampai pada sasaran. Ada semangat yang tercermin dalam setiap usahanya, dengan memahami bahwa kegagalan adalah sesuatu yang harus terjadi dan bukanlah kesalahan yang kemudian menyurutkan langkah. Cara bersikap atas kegagalan adalah sebuah proses dalam menuju keberhasilan dan itu harus ditunjukkan dengan semangat yang membara dalam sebuah proses usaha. Tentunya diimbangi dengan evaluasi terhadap hal-hal teknis.

Perwujudan nilai Sengguh dalam jemparingan adalah seorang pemanah harus mempelajari teknik memanahnya dengan benar, memperhatikan nasihat guru dan atau orang lain sebagai cermin dalam melaksanakan tindakan. Dengan kata lain, dengan mengetahui atau mengenal diri sendiri dan memahami posisi diri atas ilmu yang dipelajari dalam usaha meningkatkan level pemahamannya, maka seseorang baru bisa mempunyai kepercayaan diri.

Perwujudan nilai Ora Mingkuh dalam jemparingan adalah seorang pemanah harus mencabut anak panahnya sendri sebagai sebuah cerminan tanggung jawab atas hasil dari apa yang sudah diperbuatnya. Dalam dimensi lainnya, ora mingkuh bisa diartikan sebagai sebuah tanggung jawab untuk terus berproses melakukan perbaikan diri selama hidupnya dan tidak menyalahkan siapapun atas sebuah kejadian buruk yang menimpanya. 

Uraian diatas sengaja kami buat untuk memahami Jemparingan sebagai sebuah konsep berdimensi pendidikan karakter. Tidak ada pertandingan atau perlombaan. Sebab dalam Jemparingan yang menjadi musuh terbesar adalah diri sendiri dan proses berlatihnya adalah dengan mengenali dan menghadapi ego. Untuk itu didalam Jemparingan hanya dikenal istilah Gladhen (Alit, artinya kecil, dan Ageng, artinya besar) yang artinya berlatih. Dan yang dicari adalah mengenali rasa, yang mana hal ini bersifat transenden yang berhubungan dengan pengenalan jati diri sebagai seorang manusia Jawa yang berke-Tuhan-an.

Masa Kini

Dimulai pada saat Jemparingan masuk dalam Pekan Olahraga Nasional tahun 1948, maka muncullah dimensi baru yakni dimensi kompetisi. Dan saat ini perkembangan Jemparingan tidak lepas dari munculnya banyak kompetisi yang dilabeli Gladhen dimana perbedaannya pada tujuan yang dicari yakni titis atau mengenai target saja. Apalagi mulai tahun 2014 sampai sekarang, banyak bermunculan paseduluran/paguyuban/perkumpulan
Jemparingan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan bahkan di Bali. Efek domino dari sisi ekonomi sangat nampak, ketika mulai banyak pengrajin gendewa sampai pada penjual pakaian adat jawa yang merasakan berkahnya.

Untuk itu mari kenali dan melestarikan nilai luhurnya agar jangan sampai Jemparingan mengalami penyempitan makna menjadi tidak lebih dari hanya sebagai gimmick marketing semata. 

Bagaimana menurut Anda?

Artikel ini dibuat oleh Lembah Manah, penulis tamu sekaligus seorang pegiat baru di Jemparingan Gagrak Mataraman, yang semenjak 2014 mengenalkan Jemparingan di daerah Trawas, Kabupaten Mojokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *